Memori kadang bisa membunuh. Aku rindu sekali akan buku favoritku sewaktu kanak-kanak. Bundel hijau tua yang sudah lapuk itu tak pernah absen dari malam hariku, walau hanya beberapa bulan. Cover bukunya pekat dengan kesederhanaan, dan itu yang buatnya menarik di mataku, walau buku itu adalah satu di tengah puluhan buku lain yang ramai corak dan gegap gempita dalam kehidupan metropolitan.
Buku favoritku terlihat sesak, penuh dan memang penuh dengan ilmu. Hidup diserukannya sebagai sekolah tiada akhir, dimana setiap wadah kegiatan sampai masalah sekalipun adalah pendidikan, terutama untuk diri kita. Buku favoritku sering dilalaikan, kadang olehku, dan sering oleh orang lain. Buku, dia dizalimi dengan apa yang disebutnya pilihan bebas tapi mungkin bukan pilihan sadar bagi pelakunya.
Menjelang malam, ya dia temani aku tidur dengan cerita-cerita yang nyaris tak bisa kubilang manis. Ceritanya hampir semua berakhir pedih, tak bahagia, tapi mengisi fikir dan terutama batinku dengan masih indahnya hidupku, bersyukurnya aku, dan begitulah seyogyanya.
Aku tumbuh semakin besar. Tidak lagi dengan pola fikir yang sederhana, dan mungkin aku telah menjadi tiara yang tidak lagi dengan huruf kapital T di depannya. Aku disuguhi begitu banyak hal baru yang ada dalam buku-buku hadiah dari orang tuaku. Tapi sungguh, sampai sekarang aku ini insomnia karna buku favoritku, dengan sampul hijau dekil itu entah berada dimana.
Aku rindu, akan masa kanak-kanak,
hidup hanya hitam dan putih,
melangkah satu demi satu.
Tanpa memakan ratu setelah kuda kukorbankan,
perduli setan dengan catur, walau aku masih ingat,
kata-kata dalam buku favoritku...
"Meski belum hilang penat ini, tapi rindu tak bisa menunggu. Perjalanan panjang dalam sunyi, menyisa banyak cerita untuk ditulis. “Karena ada sedikit gangguan dalam memori jangka panjangku, tak bisa mengingat terlalu lama, atau terlalu banyak…”. Padahal tidak ingin aku kehilangan saat kau letakkan tanganmu di wajahku, lalu ada senyum, “seperti papan catur,” katamu. Kontras warna! "